Kamis, 20 Maret 2014

CANDI WRINGIN LAWANG



Candi Wringin Lawang


Candi Wringin Lawang terletak di Dusun Wringinlawang, Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi Wringin Lawang sudah dikenal sejak tahun 1815 tetapi dalam tulisan Raffles dalam bukunya yang berjudul “History of Java” disebut “Gapura Jati Pasar”. Dinamakan Wringin Lawang karena bentuknya seperti pintu (lawang dalam bahasa Jawa) dan dahulu pada waktu ditemukan di kanan kiri terdapat pohon beringin (wringin dalam bahasa Jawa). Secara astronomis terletak di  koordinat 7°32′31″LS dan 112°23′27″BT dan berada pada ketinggian 36,42 di atas permukaan laut. Karena terletak di Desa Jatipasar, maka sering juga disebut Candi Jatipasar atau Gapura Gapit. Candi Wringin Lawang terletak tidak jauh dari Jalan Raya Mojokerto-Jombang, kira-kira masuk tinggal jalan sekitar 200 meter. Jadi tidak sulit kan untuk menjangkau ke tempat ini.


 
 Memasuki areal Candi Wringin Lawang kita akan disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Ada beraneka jenis tanaman hias, pohon maja, pohon cermai, dan pohon Trenggulun yang membuat suasana asri.
 Candi Wringin Lawang yang menempati areal seluas 616 meter persegi ini secara keseluruhan terbuat dari batu bata merah dengan arah hadap ke timur-barat dengan berukuran panjang 13 meter, lebar 11,5 meter dan tinggi 15,5 meter.
 
Candi Wringin Lawang merupakan bangunan yang termasuk dalam tipe candi bentar, yaitu gapura belah yang tidak mempunyai atap. Candi bentar biasanya berfungsi sebagai gerbang luar suatu kompleks bangunan. Bentuk bangunan seperti ini sekarang banyak dijumpai di daerah Bali.
 Belum secara pasti dapat diketahui apakah Candi (Gapura) Wringin Lawang apakah gapura ini merupakan gerbang masuk keraton Majapahit atau bangunan penting yang lain. Tapi, ada juga yang berpendapat bahwa gapura tersebut merupakan pintu masuk ke kediaman Patih Gajah Mada, mengingat dahulu pernah diketemukan arca terakota yang wajahnya mirip dengan Patih Gajah Mada.
 Candi Wringin Lawang sebuah peninggalan Majapahit yang diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dalam keadaan polos tanpa hiasan, ukiran atau relief. Bentuk gapura menyerupai puncak Gunung Mahameru yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Jika perhatikan dari jauh, terdapat gapura kecil yang menempel pada bagian induk. Gapura kecil ini melambangkan gerbang rakyat, sedang yang besar melambangkan gerbang raja. Arti yang terkandung di dalamnya adalah kebijaksanaan raja jauh lebih besar daripada kekuasaan rakyat, tapi rakyat seutuhnya di bawah perlindungan kekuatan dan kebijaksanaan raja.
 Di sekitar candi ditemukan 14 sumur tua yang berbentuk segi empat silindrik dan kubus. Dinding sumur untuk bentuk silindrik menggunakan bata lengkung, sedangkan untuk sumur yang berbentuk kubus menggunakan bata berbentuk kubus. Pada sumur yang berbentuk silindrik dijumpai pula dinding sumur yang menggunakan jobong (semacam bis beton yang terbuat dari terakota/ tanah liat bakar). Penempatan sumur di muka rumah sampai saat ini masih banyak dijumpai dirumah-rumah tradisional. Sayang sekali untuk saat ini sumur-sumur tersebut telah ditutup. Berdasarkan hal tersebut, diperkurikan gapura menghadap ke arah barat dan mempunyai fungsi untuk memasuki sebuah kompleks bangunan di Kerajaan Majapahit.
 Gapura Wringin Lawang telah mengalami pemugaran yang dilaksanakan sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 1995. Sebelum dipugar belahan selatan gapura masih utuh, berdiri tegak dengan ketinggian 15,50 m, sementara belahan utara hanya tersisa 9 meter dan puncak gapura telah runtuh dan hilang. Di sisi kiri dan kanan tangga naik menuju celah di antara kedua belahan gapura terdapat dinding penghalang setinggi sekitar 2 m. Celah di antara kedua belahan gapura cukup lebar yaitu sekitar 3,47 meter, di sisi timur dan barat terdapat sisa-sisa anak tangga. Tampaknya anak tangga ini semula dibatasi oleh pipi tangga dan pada sisi sebelah utara dan selatan gapura terdapat sisa struktur bata yang mungkin merupakan bagian dari tembok keliling. Kaki Candi Wringin Lawang terdiri dari 6 siku disetiap sudut candi (jika digabungkan setiap sudutnya jika digabungkan menjadi lambang Kerajaan Majapahit). Atap candi berbentuk piramida bersusun dengan puncak persegi. Bentuk atap maupun hiasan pola piramida terbalik pada atap candi mirip dengan yang terdapat di Candi Bajangratu, memiliki 2 siku disetiap sudut candi. Terdapat perbedaan tekstur batu asli Candi Wringin Lawang dengan batu hasil pemugaran. Jika kita amati pada bangunan tersebut, perbedaan terletak pada cara merekatkan batu bata satu dengan yang lainnya, pada zaman dahulu perekat dengan menggunakan gesekan antara batu bata merah yang satu dengan yang lain dan disiram air akan tetapi pada saat pemugran perekat yang digunakan adalah semen.
 Pada waktu ke sana, aku jumpai dupa yang ditancapkan di tanah pojokan gapura. Rupanya Candi Wringin Lawang ini masih digunakan untuk ngalap berkah atau selamatan dengan sesaji.

 

Sumber:

·       Bagus Arnawa, I.G. 1998. Mengenal Peninggalan Majapahit di Daerah Trowulan. Mojokerto: Koperasi Pegawai Republik Indonesia Purbakala Trowulan.
·       Sujarweni, Wiratna. 2012. Jelajah Candi Kuno Nusantara. Yogyakarta: Diva Press.
·       Maryanto, Daniel Agus. 2007. Candi Masa Majapahit. Yogyakarta: PT Citra Aji Parama.
·       Kusumajaya, I Made, dkk. Mengenal Kepurbakalaan di Daerah Trowulan.
·       Observasi tanggal 13 Oktober 2013 dan 22 Desember 2013

Prasasti Rejowinangun

Prasasti terlihat dari depan
Prasasti Rejowinangun berada di depan pagar Masjid At-Ta’awun Desa Rejowinangun, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Keadaan Prasasti Rejowinangun ini tulisannya telah aus sehingga tidak dapat diketahui isinya. Bahkan di bagian depan digunakan untuk menaruh prasasti tentang peresmian masjid. Di dekat lokasi prasasti terdapat peninggalan sejarah yang berupa Punden Plosorejo. Mungkinkah keduanya berkaitan? Entahlah, belum ada bukti tertulis yang membenarkannya.
Prasasti terlihat dari belakang
Prasasti terlihat dari kejauhan


CANDI BRAHU

Rekreasi sambil belajar with my students



C
andi Brahu terletak di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto atau di sebelah utara sekitar 2 kilometer dari jalan raya Mojokerto-Jombang dengan koordinat 7°32′34″LS 112°22′27″B. Pertigaan di depan kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur ke utara. Jalannya agak sempit tapi untuk masuk bis pariwisata besar ternyata juga bisa masuk. Jalan menuju Candi Brahu tersebut masih cukup asri karena di kanan kiri terdapat pepohonan yang rindang berwarna hijau. Sebelum sampai di Candi Brahu kita akan melewati peninggalan sejarah yang lain yaitu Maha Vihara Majapahit dan Siti Hinggil. Candi Brahu terletak di tengah tanah persawahan.
Candi terlihat dari barat

Candi Brahu pertama kali dicatat oleh Raffles pada tahun 1815 yang dimuat dalam bukunya History of Java yang terbit tahun 1817. Raffles menyebut Candi Brahu sebagai “One of The Gateways of Majapahit”.
Candi terlihat dari selatan

Candi terlihat dari timur

Candi terlihat dari utara

Untuk masuk ke lokasi Candi Brahu tidak dipungut biaya alias gratis. Hanya saja, kalau naik motor akan ditarik biaya parkir sebesar Rp. 2.000,00. Di sekitar pagar banyak masyarakat setempat yang berjualan makanan dan minuman. Memasuki kawasan candi terasa sejut di hati. Banyak pepohonan yang menghijau. Ada pohon maja di sana sini. Ada taman dan rerumputan serta tanaman yang dibentuk seperti lambang surya Majapahit.
Taman yang dibentuk Surya Majapahit
Prasasti Pemugaran Candi Brahu
Candi Brahu terbuat dari batu bata yang direkatkan satu sama lain dengan sistem gosok menghadap ke arah barat dengan azimut 2270. Candi ini berdenah persegi panjang dengan penampil di keempat sisinya serta mempunyai ukuran panjang 22,5 meter, lebar 20,70 meter, dan tinggi sekitar 25,7 meter.
Nama brahu berasal dari kata wanaru atau warahu (perabuan/pembakaran), yaitu sebuah bangunan suci yang disebutkan dalam Prasasti Tembaga Alasantan yang ditemukan tidak jauh dari candi sekitar 45 meter di sebelah barat. Prasasti ini dibuat pada tahun 861 Saka atau lebih tepatnya tanggal 9 September 939 Masehi atas perintah Mpu Sindok, Medang Kamulan (Mataram Kuno versi Jawa Timur). Dari pernyataan prasasti tersebut, dapat dikatakan Candi Brahu merupakan candi tertua daripada candi-candi lain yang ada di sekitar Trowulan.
Tangga masuk di sebelah barat
Secara umum struktur bangunan Candi Brahu terbagi menjadi kaki, tubuh, dan atap. Kaki candi terdiri dari bingkai bawah, tubuh, dan bingkai atas. Bingkai tersebut terdiri dari pelipit rata, sisi genta dan setengah lingkaran. Berdasarkan penelitian terhadap kaki candi diketahui ada susunan bata yang strukturnya terpisah yang diduga merupakan kaki candi yang sebelumnya. Ukuran kaki candi yang lama adalah 17 meter x 17 meter. Struktur kaki yang sekarang merupakan tambahan dari bangunan sebelumnya. Kaki candi terdiri dari dua tingkat dengan selasarnya. Pada bagian bawah setinggi 2 meter mempunyai tangga di sisi barat yang belum diketahui dengan jelas bagaimana bentuknya menuju selasar kedua. Pada selasar kedua selebar 1 meter dan mengelilingi candi dan di atas selasar kedua tersebut berdiri tubuh candi.
Bagian tubuh candi sebagian merupakan susunan batu bata baru yang dipasang pada masa pemerintahan Belanda pada tahun 1920. Tubuh candi berdenah persegi panjang dengan ukuran 10 meter x 10,50 meter dan tinggi sekitar 9,6 meter. Pada bagian barat yang tingginya 2 meter dari selasar kedua terdapat lubang seperti pintu yang merupakan bilik candi berukuran 4 meter x 4 meter. Mungkin dahulu terdapat tangga untuk masuk bilik candi tersebut, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Kondisi lantai bilik candi sudah rudak. Pada waktu pembongkaran bilik tersebut sisa-sisa arang yang kemudian diteliti di Pusat Penelitian Badan tenaga Aton Nasional (BATAN) Yogyakarta menunjukkan radio carbon arang tersebut berasal dari masa antara tahun 1410-1646.
Atap candi setinggi kira-kira 6 meter ini tidak berbentuk prisma bersusun atau segiempat, tapi bersudut banyak dengan puncak yang datar. Pada sudut tenggara terdapat sisa hiasan berdenah lingkaran yang diduga sebagai bentuk stupa.
Candi Brahu dibangun dengan latar belakang agama Budha. Candi Brahu dalam keadaan polos tanpa hiasan atau relief kecuali pada bagian atap terdapat sisa hiasan berdenah lingkaran yang diduga sebagai bentuk stupa. Pada kaki, dinding tubuh, dan atap candi diatur sedemikian rupa membentuk gambar geometris maupun lekukan-lekukan yang indah. Di sekitar candi ketika dilakukan penggalian ditemukan banyak benda kuno seperti alat-alat upacara keagamaan dari logam, perhiasan dari emas, arca, dan lainnya yang kesemuanya menunjukkan ciri ajaran agama Budha.
Bilik Candi
Sebagaimana umumnya, candi mempunyai fungsi sebagai tempat persembahyangan (pemujaan), menyimpan barang berharga dan benda pusaka, tempat pembakaran mayat, atau tempat menyimpan abu jenazah raja. Candi Brahu merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja. Tetapi sayang, dalam penelitian atau penggalian tak ditemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Hal tersebut setelah dilakukan verifikasi pemugaran candi pada tahun 1990-1995.
Menurut cerita rakyat, Candi Brahu merupakan makam Raja Brawijaya I-IV, tapi tidak ditemukan bukti baik secara arkeologis maupun sejarah untuk mendukung kebenaran cerita tersebut.
Di sekitar Candi Brahu terdapat candi-candi kecil di mana Candi Brahu merupakan titik pusatnya, antara lain Candi Muteran, Candi Gedong, Candi Tengah, dan Candi Gentong. Tapi sayang, yang tersisa dapat kita lihat hanya Candi Gentong yang terletak 400 meter di sebelah timur Candi Brahu.

Sumber:
1.    Papan informasi di Pusat Informasi Majapahit (PIM)
2.    Maryanto, Daniel Agus. 2007. Candi Masa Majapahit. Yogyakarta: PT Citra Aji Parama.
3.    Sujarweni, Wiratna. 2012. Jelajah Candi Kuno Nusantara. Yogyakarta: Diva Press.
4.    Kusumajaya, I Made, Aris Soviyani, dan Wicaksono Dwi Nugroho. Tanpa Tahun. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. Mojokerto: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan RI.

Rabu, 05 Maret 2014

CANDI RINGINANYAR


C
andi Ringinanyar??? Pernahkah Anda mendengar nama Candi Ringinanyar? Anda penasaran???? Saya jugaaaa. Nama Candi Ringinanyar aku dapat ketika membaca daftar peninggalan sejarah di daerah Blitar. itupun juga sudah lama sekali. Secara gak sengaja, ada acara buwuh ke Ringinanyar waktu ingat ya langsung aja aku cari. Oh ya, Candi Ringinanyar terletak di Dusun Ringinjejer, Desa Ringinanyar, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Gak sulit untuk menemukan candi tersebut, sekali bertanya ke seorang penduduk langsung ketemu. Kondisi Candi Ringinanyar sangat mengenaskan. Bangunan kuno yang terbuat dari batu bata tersebut telah runtuh. Batu-batu penyusun candi telah berserakan dan ditumbuhi pepohonan besar. Mengingat kondisi yang tidak utuh lagi, masyarakat lebih sering menyebutnya dengan nama Candi Bubrah. Kondisi Candi Ringinanyar tersebut mengingatkan aku tentang kondisi Candi Ampel di Tulungagung yang juga telah runtuh dan ditumbuhi pepohonan besar.






Sumber:
1.    Dari berbagai sumber yang relevan
2.    Observasi tanggal 17 Oktober 2013