Senin, 14 Januari 2013

Garuda Wisnu Kencana Cultural Park (GWK)


Garuda Wisnu Kencana Cultural Park atau biasa disingkat GWK terletak di Bukit Ungasan Jalan Raya Uluwatu, Jimbaran, Bali telepon (0361) 703 603 dan Koordinat GPS S08 48 27.2 E115 09 51.8. GWK berjarak sekitar 25 kilometer dari Denpasar atau 15 kilometer dari Bandara Internasional Ngurah Rai. Garuda Wisnu Kencana berarti burung Garuda yang merupakan kendaraan Dewa Wisnu.
Jalan menuju GWK asyik banget. Apalagi bisa lewat Universitas Udayana dengan jalan yang berkelok-kelok. Setelah melewati gerbang dan pos penjagaan kita akan sampai di pelataran parkir yang sangat luas. Sambil nunggu beli karcis kita bisa menunggu sambil melihat-lihat patung yang ada di depan pintu masuk. Tiket masuk sebesar Rp. 25.000,00 untuk anak-anak dan pelajar, Rp. 30.000,00 untuk wisatawan lokal dewasa, dan Rp. 60.000,00 untuk wisatawan asing. GWK ini buka setiap hari pukul 08.00-22.00 WITA.
Patung Depan Pintu Masuk

Asyiknya nunggu kalo narsis kayak gini
Garuda Wisnu Kencana Cultural Park menempati area seluas 250 hektar. Di areal taman budaya ini akan didirikan sebuah maskot (landmark) Bali yaitu patung berukuran raksasa berupa Dewa Wisnu yang sedang mengendarai burung garuda yang direncanakan tingginya sekitar 145 meter dengan bentang sayap garuda sepanjang 66 meter dan diperkirakan mempunyai besar sekitar 4000 ton. Patung tersebut terbuat dari campuran tembaga, baja, dan kuningan. Uups, mengalahkan Patung Liberty dong? Patung Garuda setinggi 12 meter dan patung Dewa Wisnu setinggi 18 meter. Patung tersebut karya seniman terkenal Bali I Nyoman Nuarta.
Garuda Wisnu Kencana Cultural Park mulai dibangun pada tahun 1997 yang direncanakan menjadi sebuah tempat dengan segala fasilitas hiburan, shopping sekaligus tempat rekreasi seluas puluhan hektar. GWK diharapkan menjadi simbol dari penyelamatan lingkungan dan dunia. Proyek ini sempat dihentikan karena ada berbagai masalah, diantaranya masalah pendanaan. Yang baru selesai adalah setengah badan Dewa Wisnu, burung Garuda, dan tangan Dewa Wisnu. GWK diproyeksikan bisa mengikat tata ruang dengan jarak pandang sampai 20 kilometer yang dapat melihat Kuta, Sanur sampai Nusa Dua.
Pintu Masuk

Eiiittts, karcis sudah di tangan tinggal masuk aja. Setelah melewati pos pemeriksaan karcis sampailah di pelataran yang cukup luas yang dinamakan “Street Theatre” yang terdapat banyak pedagang makanan, minuman, dan souvenir. Penasaran dong ma patungnya?
Street Theatre
Langsung aja kesana yuk! Untuk kesana akan melewati Amphitheater. Amphitheatre adalah tempat di luar ruangan (outdoor) dengan kapasitas 800 tempat duduk untuk pertunjukkan khusus dengan akustik. Kalau mau nonton setiap pukul 13.00-14.00 WITA ada pertunjukkan Barong Keris Dance dan pukul 18.00-19.00 ada pertunjukkan Tari Kecak. Asyik tuh kayaknya, gratis lagi. Tapi sayang pas kesana aku masih pagi sekali coz mo ke tempat wisata lain juga sich, jadi harus pintar-pintar ngatur jadwal.
Gerbang Lotus Pond
Lotus Pond
Kita juga akan melewati gerbang yang bertuliskan “Lotus Pond”. Emang sich lokasi ini terletak di atas dataran tinggi batu kapur padas. Lokasinya asyik n eksotik banget. Seperti padang rumput yang dikelilingi tebing tinggi. luasnya sekitar 4000 meter persegi. Tempat tersebut bisa menampung hingga 7000 orang sehingga cocok sekali untuk menjadi tempat mengadakan acara besar dan internasional.
Di tebing yang mengelilingi ini terdapat sebuah taman (Taman Tebing) yang sering banget buat shooting film-film itu loch.
Yuks langsung aja keburu penasaran ma patung garuda. Dari Lotus Pond kita harus menaiki tangga dulu. Gak lupa narsis dulu. He33...
Tangga Naik
Setelah melewati tangga kita akan sampai di pelataran dimana ada Patung Garuda. Woow besar sekali. Patung kepala burung garuda bener-bener raksasa. Gimana yach kalau sudah jadi secara keseluruhan?? Pasti amazing sekali. Ada pelataran yang luas, cocok untuk sarana rekreasi keluarga. Satu lagi, yang seneng foto-foto bisa narsis dengan latar belakang “Lotus Ponds” atau kepala burung Garuda.
Patung Kepala Burung Garuda

Narsis with LOtus Pond
Yuks lanjut lagi perjalanan. Setelah melewati tangga naik kita akan sampai di Wisnu Plaza. Wisnu Plaza merupakan tanah tertinggi di GWK yang merupakan tempat sementara diletakkannya Patung Wisnu yang dikelilingi air mancur dan sumur yang konon tidak pernah kering meski lagi musim kemarau. Karena terletak di tempat yang tinggi, jadi kita bisa melihat pemandangan yang indah sekali.
Patung Dewa Wisnu
Tempat Pemujaan Dekat Patung Dewa Wisnu
Narsis Rame-Rame

Artistik gak yach?
Mau lihat pemandangan yang lebih seru? Di area ini juga ada persewaan teropong untuk melihat pemandangan alam yang lebih jauh lagi.
Persewaan Teropong

Uups waktunya tuk nerusin perjalanan nih. Setelah melewati tangga turun kita akan sampai di suatu taman yang di tengahnya terdapat kolam. Asri banget dengan tanaman yang menghijau. Eits ketemu bule, bisa diajak foto nih. He...he...hee.
Taman yang Asri

Untuk menuju pintu keluar kita akan melewati Street Theatre lagi. Jalan keluar harus melewati Souvenir Shop. Ada banyak pernak-pernik dan produk khas Bali yang bisa kita jadikan oleh-oleh.
RElief di Street Theatre
Souvenir Shop
Akhirnya sampai di bis lagi, saatnya lanjutkan perjalanan.
Cuuuuuuuusssssss............................

Kamis, 20 Desember 2012

SITUS KANIGORO


Berawal dari googling cari informasi mengenai situs peninggalan sejarah di Kabupaten Tulungagung, secara tidak sengaja menemukan info mengenai Situs Kanigoro. Secara tidak sengaja pula ketika ke rumah teman melewati situs ini.
Situs Kanigoro terletak di Dusun Campur Janggrang, Desa Campurdarat, Kecamatan Campurdarat Tulungagung. Tidak sulit mencari keberadaan situs ini karena terletak di tempat strategis di pusat keramaian kecamatan. Kita tinggal menuju Balai Desa Campurdarat, ada papan penunjuk arah yang terletak di barat. Masuk saja jalan sempit di sebelah barat balai desa ini, kita pasti menemukan lokasi Situs Kanigoro.

Warga sekitar seringkali menyebut Situs Kanigoro dengan Punden Mbah Kanigoro. Ada banyak peninggalan yang terdapat si situs ini, antara lain makam kuno, arca Ganesha, lingga, umpak, pilar batu, dan beberapa batu kuno. Peninggalan-peninggalan tersebut tidak terpusat di suatu titik, tetapi menyebar di berbagai titik.
Ketika masuk pelataran situs kita akan melihat sebuah batu yang bentuknya seperti meja di sisi sebelah utara dan ada sebuah rumah-rumahan. 



Di dalam rumah-rumahan terdapat sebuah makam kuno yang membujur arah utara-selatan.

Ada juga sebuah batu yang berukuran besar yang bentuknya seperti meja yang terletak di barat .
Ada sebuah arca ganesha yang terletak di belah tenggara makam yang menghadap ke arah barat.


Ada empat batu berukuran kecil yang terletak di sebelah barat makam.
Di sebelah utara makam di atas tanah sebelah timur atau utara batu yang berbentuk meja terdapat sebuah lingga.

Sebelah utara lingga terdapat beberapa batu. Ada juga batu yang berbentuk persegi empat yang di tengahnya terdapat sebuah lubang yang berbentuk bulat.


Sebelah barat atau tepatnya sebelah utara makam terdapat sebuah batu yang sebagian masih terpendam.
Sulit sekali mencari informasi lebih mengenai Situs Kanigoro ini. Ketika ke sana juga tidak bertemu dengan juru kunci. Arca Ganesha dan lingga tersebut mengindikasikan bahwa kemungkinan besar situs tersebut berlatar belakang agama Hindu. Adanya umpak dan pilar mengindikasikan kalau Situs Kanigoro pada awalnya merupakan sebuah bangunan dan bukan makam keramat seperti yang kita lihat saat ini.

Rabu, 11 April 2012

CANDI MIRIGAMBAR, Maha Karya di Tengah Reruntuhan


Secara administratif Candi Mirigambar terletak di Dusun Gambar, Desa Mirigambar, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, + 17 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Tulungagung. Candi ini terletak di sebelah tenggara lapangan desa diapit dua pohon beringin berukuran raksasa, berdekatan dengan perkampungan dan persawahan. Mungkin kalau tidak benar-benar mengenal daerah ini agak susah untuk sampai ke tempat ini karena letaknya agak terpencil.
1.      Kalau dari Kediri atau Trenggalek langsung menuju perempatan Jepun. Kemudian bisa langsung terus ke arah timur jurusan Blitar. Sampai gapura keluar kota Tulungagung ada perempatan lampu merah atau biasa disebut Gragalan belok ke selatan jurusan Kalidawir melewati jalan berliku. Sampai di Desa Wates ada sebuah papan penunjuk arah ke Candi Mirigambar di pertigaan kecil. Dari sini kemudian kita lurus ke arah timur melewati jalan setapak sampai di sebuah lapangan desa Mirigambar yang terletak di selatan jalan. Candi Mirigambar terletak di sebelah lapangan.
2.      Dari arah Blitar langsung menuju ke perempatan Kidangan. Kemudian belok ke selatan, kurang lebih 200 meter sampai pertigaan Recobarong belok ke barat. Lurus mengikuti jalan sampai di pertigaan aspal di Desa Purworejo. Dari sini kemudian belok ke selatan sampai di balai Desa Mirigambar ada papan penunjuk arah menuju candi ini. Dari balai desa lurus ke barat sampai di lapangan selatan jalan dimana candi ini berada.
Jangan lupa rajin-rajin bertanya kepada penduduk sekitar kalau kita tidak menjumpai papan penunjuk arah yang mengarah ke Candi Mirigambar agar tidak tersesat.


Ketika berkunjung di Candi Mirigambar ini tidak saya jumpai juru kunci atau kantor yang dapat dimintai informasi mengenai candi ini. Candi ini dikelilingi pagar kawat berduri dan pintu pagar pun dalam keadaan terkunci. Hanya seorang bapak yang sedang mencari rumput di lapangan yang menyapa. Untung pagar sebelah utara ada yang rusak sehingga saya pun bisa memasuki areal candi ini. Menurut bapak pencari rumput candi ini masih dijadikan sarana masyarakat untuk memohon berkah ketika akan melangsungkan hajatan atau acara besar lainnya, kadang-kadang juga dijadikan tempat untuk bersemedi.


Dari segi arsitektur Candi Mirigambar merupakan candi tunggal tanpa candi perwara yang terbuat dari batu bata. Penggunaan batu bata untuk bangunan merupakan salah satu ciri bangunan klasik Indonesia. Candi ini hanya tersisa bagian kaki candi dan sedikit badan canda serta memiliki ukuran panjang 8,50 meter, lebar 7,7 meter, dan tinggi 2,35 meter. Candi Mirigambar dibangun menghadap ke barat. Pada pipi tangga pintu masuk penuh dengan ukiran, tapi sayang tertutup dengan lumut serta ada gapura yang telah runtuh.


Pada dinding candi terdapat relief patung. Terdapat banyak relief yang diukir pada dinding-dinding candi. Bagian atas tangga pintu masuk terbuat dari batu andesit, sedangkan bagian bawah terbuat dari batu bata. Di atas gapura yang telah runtuh terdapat arca yang terbuat dari batu andesit, masing-masing di kiri dan kanan. Tapi sayang arca ini sudah tidak utuh lagi dan sulit dikenali karena tanpa kepala dan hanya tersisa bagian tangan.
Bentuk bangunan candi ini cukup kecil dan beberapa bagian terlihat doyong/miring seperti mau ambruk saja. Setelah naik tangga kita akan menjumpai bagian badan candi yang telah runtuh dan tinggal puing-puing saja. Di sana-sini banyak yang ditumbuhi lumut dan jamur, mengingat candi ini terbuat dari batu bata. Ketika saya berkunjung ke candi ini pada musim penghujan sehingga keadaan lembab lumut dan jamur mudah tumbuh. Mungkin kalau berkunjung pada musim kemarau akan lain kondisinya.
Konon di dinding-dinding candi terdapat relief-relief yang bergambar satwa seperti kelinci, anjing, burung, singa, dan udang. Relief udang hanya terdapat di candi ini dan merupakan satu-satunya di Indonesia. Ketika berkunjung ke sana saya tidak menjumpainya, hanya relief burung yang tersisa. Kemungkinan karena termakan usia sehingga relief ini aus dan rusak.
Di sebelah timur laut candi terdapat tumpukan batu andesit yang ditata sedemikian rupa membentuk persegi panjang di mana salah satu batu terdapat relief burung.

Di sebelah timur candi terdapat batu terpendam berbentuk persegipanjang yang hanya terlihat permukaannya saja. Bagian candi sebelah timur dahulunya terdapat pahatan angka tahun 1321 Saka atau 1399 Masehi tapi sayang sekarang sudah rusak berat. Tahun tersebut merupakan tahun perpindahan kekuasaan Kerajaan Majapahit dari Raja Hayam Wuruk kepada Wikramawardhana. Wikramawardhana adalah raja kelima Majapahit menggantikan Raja hayam Wuruk yang telah wafat pada tahun 1389.

Di sebelah tenggara candi juga terdapat tumpukan batu yang masih ada ornamennya, tapi sayang tertutup lumut dan tumbuhan.
Dilihat dari sebelah tenggara candi ini nampak seperti mau ambruk saja. Candi ini pernah dipugar pada tahun 1970 untuk menegakkan badan candi yang miring tapi tidak sampai benar-benar tegak. Para ahli memasang besi pada pondasi candi agar tidak miring dan menahan akar pohon tidak sampai menjalar ke candi yang dapat merusaknya.

Dari sebelah selatan masih terlihat relief pada dinding candi yang menggambarkan orang yang sedang menyembah junjungannya seperti seorang raja atau keturunan bangsawan. 
Di selah selatan candi terdapat batu persegipanjang terbuat dari batu andesit yang sepintas seperti tempat duduk. Tapi kalau dilihat secara detail tidak terpendam di dalam tanah, kemungkinan batu ini merupakan bagian dari candi.
Bagian barat daya candi juga dipenuhi ornamen. Seperti tergambar dalam foto-foto berikut.



Di bagian depan candi sebelah selatan sebenarnya terdapat relief tetapi hanya tinggal lubangnya saja karena sudah hilang dijarah orang. Di kanan kiri tangga candi terdapat relief seorang pria bangsawan.

Candi Mirigambar diperkirakan dibangun pada abad ke XII sampai abad XIV.  Pembangunan candi ini tergolong memakan waktu yang lama, yaitu sejak akhir pemerintahan Kertanegara (Kerajaan Singasari) hingga masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Banyak peninggalan-peninggalan lain yang ditemukan di sekitar Candi Mirigambar, misalnya Bekas Pemandian Mliwis Putih, Candi Tuban yang terletak di Dusun Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, 300 meter selatan Candi Mirigambar, serta reruntuhan candi lain di timur Candi Mirigambar. Bahkan sering diketemukan batu komponen candi di sekitar candi ini. Oleh karena itu diindikasikan dahulunya areal ini merupakan kompleks percandian yang sangat luas.
Masyarakat sekitar beranggapan bahwa Candi Mirigambar merupakan tempat bertemunya Prabu Angling Dharma yang telah dikutuk menjadi burung belibis (mliwis putih) dengan seorang putri yang kelak menjadi istrinya. Masyarakat sekitar juga beranggapan kalau relief-relief di Candi Mirigambar menceritakan kisah angling Dharma, bahkan di desa ini telah berdiri sebuah radio dengan nama Radio Angling Dharma. Candi Mirigambar seringkali disebut dengan nama Candi Angling Dharma.
Menurut ahli sejarah, sebenarnya relief di Candi Mirigambar ini menceritakan kisah Panji dimana kita bisa mengenalinya dengan adanya orang yang memakai tekes (belangkon), bertelanjang dada, dan memakai penutup kain pada bagian bawahnya.
Berdasarkan foto dari N.J.Krom, bagian timur candi sudah rusak namun masih terdapat relief, serta gapura masuk yang lebih tinggi, beberapa relief di kaki candi masih ada dan masih utuh (termasuk relief kelinci) dan juga pilaster garuda masih terdapat di beberapa sudut candi.