Tampilkan postingan dengan label Tulungagung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tulungagung. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Oktober 2017

Air Terjun Laweyan



Air terjun Laweyan



Gambar 1 Air Terjun Laweyan

Air Terjun Laweyan? Dulu tidak ada rencana sama sekali untuk datang ke tempat ini. Tau aja enggak. Berawal dari murid-muridku yang mengajak dolan barenglah yang akhirnya membawaku ke tempat ini. Setelah janjian di sutu tempat yang disepakati terus berangkat menuju ke Candi Penampihan. Candi Penampihan adalah sebuah candi yang beraliran agama Hindu.


Gambar 2 Pemandangan pegunungan

Air Terjuan Laweyan terletak di Dusun Turi, Desa Geger, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung. Dari jalan yang semula mulus kemudian belok kanan, ya ampun jalannya bergeronjal dan berbatu. Harus hati-hati kalo naik kendaraan bermotor dan terpaksa lenggak-lenggok untuk memilih jalan yang enak. Motor hanya bisa sampai di objek Candi Penampihan dan harus dititipkan di depan lokasi candi, karena untuk menuju ke air terjun harus berjalan kaki melewati hutan. Kami harus berjalan kaki sekitar 3 kilometer.


Gambar 3 Jalan setapak menuju hutan



Gambar 4 Tanaman teh



Gambar 5 Tanaman sayur

Setelah menitipkan motor, kami berjalan menyusuri jalan setapak. Pemandangan yang ada lumayan bagus. Ada tanaman teh di beberapa tempat. Dulu tempat ini adalah area perkebunan teh, bahkan tidak jauh dari tempat itu ada bekas pabrik teh. Selain teh, banyak juga dijumpai tanaman sayur-mayur. Maklum lokasi ini terletak di lereng Gunung Wilis sehingga cocok ditanami teh dan sayuran.


Gambar 6 Hutan
Tak terasa setelah beberapa lama berjalan, sampailah di hutan. Untuk mencapai air terjun harus melewati hutan. Walaupun dikatakan hutan, tapi lumayan sejuk dengan pohon-pohonnya yang menghijau dan sekali-kali matahari juga terlihat menampakkan senyumnya. Perjalanan tak begitu melelahkan karena dalam perjalanan kami saling bercengkerama. di tengah perjalanan kami bertemu dengan romobongan Pramuka (entah dari mana coz lupa nama sekolahnya).


Gambar 7 Istirahat di salah satu sungai yang dilewati

Kata salah satu muridku, untuk smapai di air terjun harus melewati 9 sungai. Hah, sembilan sungai? Membayangkan jauhnya aja gak jadi. Karena meelewati sungai, otomatis kaki karus mencebur sungai kecil yang menyebabkan tanah di sekitarnya becek. Alhasil, aku beberapa kali terpeleset. Oh ya di tempat ini masih banyak hewan pacet, hati-hati ya biar darahmu gak dihisap vampire eh pacet.


Gambar 8 Selfie duyuuu



Gambar 9 My student and me



Gambar 10 Air Terjun Laweyan

Setelah berjalan sekitar 1 jam, akhirnya sampailah di air terjun. Kelelahan terbayar sudah. Di tempat ini menyajikan pemandangan yang asri dan air terjun yang berundak. Udaranya juga masih alami dan sejuk. So, gak ragu untuk menceburkan kaki ke airnya. Dingin-dingin empuk deh. Airnya juga sangat bersih.
Penasaran??? Monggo datang ke sana!!!!!!

Tunggu ceritaku selanjutnya, ciiiiaaaoooooo........

Sabtu, 27 Februari 2016

Situs Mbah Bodho Sendang

Sebagian koleksi Situs Mbah Bodho Sendang
Situs Mbah Bodho? Situs Mbah Bodho pertama kali kutahu ketika berangkat ke lokasi Kegiatan LDK OSIS 2012 sekolahku. Itu pun hanya plang atau petunjuk arah. Penasaran? Ya jelaslah bikin aku penasaran waktu itu. Lha, pas ada kegiatan out bond dan melewati daerah situs ya disempatkan mampir bersama beberapa teman. Karena waktu itu pintu tertutup dan gak tau harus menghubungi kemana jupelnya ya cukup tahu saja.
Situs Mbah Bodho terlihat dari luar
Selang beberapa tahun, ada teman yang mengajak ke sana. Ya jelas mau lah. Situs ini searah dengan Pesanggrahan Arga Wilis. Sebelumnya ada pertigaan, kalau ke kiri nanti akan sampai di Candi Penampihan, kalau lurus ya ke situs ini.

Situs ini sebenarnya merupakan tempat dikumpulkannya sejumlah benda purbakala yang berasal dari sekitar Dusun Gondang, Desa Sendang, Kecamatan Sendang. Penamaan tempat dengan nama Pundhen Mbah Bodho berdasarkan ceritera rakyat yang berada di kalangan masyarakat Dusun Gondang, Desa Sendang.
Dalam situs ini dijumpai beberapa arca, tidak ada yang tahu pasti, dari mana arca-arca tersebut diperoleh. Namun secara turun temurun masyarakat sekitar memelihara dengan baik.
Jambangan berangka tahun
Banyak benda-benda bersejarah yang berada di tempat ini. Antara lain arca ganesha, lumpang, jaladwara, jambangan, dan masih banyak lagi. Di jambangan terdapat angka tahun 1223 Saka. Tahun tersebut menunjukkan pada masa Kerajaan Majapahit. Konon jambangan tersebut berisi air yang tak pernah habis? Mungkin saja, toh gak ada yang gak mungkin di dunia ini.
Adanya jaladwara dimungkinkan daerah tersebut merupakan patirtan, mengingat fungsi jaladwara sebagai saluran air pada sebuah bangunan petirtaan. Adanya patung Ganesha menunjukkan kalau situs tersebut beraliran Hindu.
Bersama Jupel Situs Mbah Bodho


Pada hari-hari tertentu, pengunjung berdatangan dan meletakkan sesaji di situs tersebut khususnya yang ditujukan kepada arca yang oleh masyarakat disebut Mbah Bodho yang dipercaya memiliki kekuatan/tuah tertentu. Pengkramatan situs tersebut merupakan salah satu unsur yang mampu menjaga kelestarian benda-benda tersebut dan sekaligus memberi pembenaran atas penamaan Punden MBah Bodho.


Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak berikut.
1.     Pakdhe Bambang Eko Ariadi dan adik Rafi yang telah mengajak ke situs ini
2.     Ibu Jupel Situs Mbah Bodho

Jumat, 07 November 2014

Candi Gayatri





Candi Gayatri? Sebenarnya sudah lama sekali aku mendengarnya, dari masih duduk di bangku SD malahan. Namun baru-baru ini saja aku langsung bisa datang ke lokasi ini. Candi Gayatri atau Candi Boyolangu secara administratif terletak di Dusun Dadapan, Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, sekitar 5 kilometer dari pusat pemerintahan kabupaten ini. Candi ini terletak di tengah pemukiman penduduk.
Kalau ingin mengunjungi candi ini mudah saja. Dari kota Tulungagung kita bisa melewati perempatan Tamanan lurus ke arah selatan menuju arah Campurdarat. Setelah berjalan sekitar 5 kilometer sebelum perempatan Pasar Boyolangu, kita akan menemukan sebuah masjid besar. Dari masjid besar tersebut ke selatan kita akan menemukan sebuah gapura di sebelah barat jalan yang bertuliskan “GANG CANDI GAYATRI”.

Kemudian kita tinggal menyusuri gang kecil ke arah barat tersebut sampai menemukan sebuah gapura dan sebuah papan penunjuk arah yang bertuliskan “CANDI GAYATRI” di utara jalan. Candi Gayatri terletak di utara jalan tetapi harus masuk gang kecil di sebelah rumah penduduk.
 
Ketika menyusuri gang kecil tersebut kita akan disambut sebuah “name board” yang bertuliskan “CANDI BOYOLAGU”.

Di sisi sebelah kiri name board ada sebuah pos penjaga, tapi sayang ketika berkunjung ke sana pada hari Minggu tidak ada petugas atau juru kunci. Meskipun tidak ada penjaga tetapi pintu masuk terbuka lebar sehingga bisa masuk dengan leluasa.
 Candi Gayatri pertama kali diketemukan oleh masyarakat sekitar tahun 1914 dalam keadaan tertimbun tanah. Masyarakat setempat menggalinya dan di dalamnya terdapat bangunan candi beserta patung-patung kuno yang masih terkubur.
Candi Gayatri merupakan kompleks percandian yang berdenah segi empat dengan tangga masuk di sebelah barat. Di area situs ini terdapat 1 bangunan induk dan 2 candi perwara yaitu di sebelah selatan dan utaranya candi induk.

Candi induk berukuran 11,40 meter x 11,40 meter. Candi induk ini terdiri atas dua teras berundak yang hanya tinggal kaki bangunannya. Sisa ketinggian candi ini kurang lebih 2,30 meter (dengan mengambil sisi selatan).
Dalam candi induk ini terdapat arca Gayatri yaitu arca wanita perwujudan dari ratu Sri Rajapatni, anak Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari, istri keempat Raja Majapahit yang pertama, Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja (Tribhuwana Tunggadewi), dan sekaligus nenek dari Hayam Wuruk (Rajasanegara), raja yang membawa Kerajaan Majapahit mengalami masa keemasan/kejayaan. Arca ini berukuran panjang 1,1 meter, lebar 1 meter, dan tinggi 1,2 meter.  Tinggi lapik arca lebar 1,68 meter dan tebal 1,4 meter. Saat ini arca tersebut diletakkan di bawah naungan sebuah cungkup yang tanpa dinding. Tapi sayang, arca Gayatri ini sudah dalam keadaan tanpa kepala. Bentuk arca ini menggambarkan perwujudan Dhyani Budha Wairocana dengan duduk di atas padmasanan (singgasana) yang berhiaskan daun teratai. Tangan arca ini bersikap Dharmacakramudra (mengajar) serta bertatah halus dan rapi gaya Majapahit.
Di timur laut bangunan induk terdapat sumuran.

Candi perwara di sebelah selatan candi induk berbentuk bujursangkar dengan panjang lebar 5,80 meter. Candi perwara ini sudah dalam keadaan rusak dan hanya menyisakan bagian kaki saja. pada candi perwara ini terdapat Arca nandi, Arca Dwarapala, dan Arca Mahisasura Nandini. Sekarang sisa dari patung-patung yang ditemukan di areal Candi Gayatri telah disimpan dan diamankan di Museum Daerah Tulungagung.

 
Candi perwara di sebelah utara candi induk berbentuk bujursangkar dengan panjang lebar 5,80 meter. Candi perwara ini pun juga dalam kondisi yang sudah runtuh. Pada candi perwara ini terdapat 2 patung yoni yang masing-masing ceratnya disangga oleh kepala naga, fragmen arca Ganesha, dan sebuah Patung Jaladwara.
Secara arsitektur, semua bangunan pada kompleks percandian ini berbahan dasar batu bata, hanya beberapa komponen saja yang terbuat dari batu andesit, misalnya umpak dan arcanya. Candi Gayatri kemungkinan dibangun secara bertahap. Hal ini dapat dilihat adanya struktur hiasan candi yang tumpang tindih dengan struktur kaki candi. Jumlah umpak pada bangunan induk berjumlah tujuh buah, 2 umpak berangka tahun 1291 C (1369 M) dan 1322 C (1389 M). Adanya umpak-umpak ini mengindikasikan Candi Gayatri ini dahulu memakai atap, mengingat fungsi umpak pada umumnya digunakan sebagai penyangga tiang bangunan. Berdasarkan angka tahun tersebut diduga Candi Gayatri dibangun pada zaman Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359 - 1389 M) sebagai penghormatan dan makam Putri Gayatri. Pembangunan candi dilaksanakan pada tahun 1362, dua belas tahun sesudah meninggalnya Maharaja Patni (Gayatri) tepat pada upacara Sradha bagi putri tersebut. Upacara Sradha adalah upacara penyempurnaan arwah maharaja Patni dengan maksud menghilangkan segala sisa-sisa ikatan keduniaan, sehingga arwah itu dapat menjadi suci benar-benar untuk masuk nirwana. Sedangkan sifat, nama, dan tempat bangunan disebutkan dalam kitab Kesusastraan Negarakertagama karangan Mpu Prapanca (pada masa Majapahit pemerintahan Hayam Wuruk), bahwa di Boyolangu terdapat bangunan suci (candi) beragama Budha dengan nama Prajnaparamitapuri). Ada sumber yang mengatakan kalau Candi Gayatri mempunyai peran sebagai tempat keramat yang disekar para pembesar majapahit setiap bulan Badrapada.
Di lokasi lain yang berdekatan yaitu sekitar 1 km di timur candi ini terdapat Candi Sanggrahan yang menurut cerita merupakan tempat persinggahan rombongan pembawa jenazah Putri Gayatri sebelum didharmakan di Candi Gayatri ini.

Sumber:
1.    Tim Peneliti Sejarah Kabupaten Tulungagung. 1971. Sejarah & Babat Tulungagung. Tulungagung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tulungagung.
2.    Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
3.    Observasi tanggal 15 April 2012 dan 20 Maret 2013

Selasa, 22 Januari 2013

GOA PASIR Petualangan Penuh Tantangan


GOA PASIR? Dalam pikiranku Goa Pasir merupakan sebuah gua yang di dalamnya banyak pasir. Ternyata dalam pikiranku tersebut salah besar. Goa Pasir merupakan salah satu peninggalan sejarah di Tulungagung.
Goa Pasir terletak di Dusun Pasir, Desa Junjung, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, atau sekitar 10 kilometer dari pusat pemerintahan. Meskipun rumahku dekat dan masih berada dalam 1 kecamatan tapi aku belum pernah kesana loch. Kalo sekedar lewat sih sering, kalau mampir mah nanti dulu.
Situs Goa Pasir tempatnya agak terpencil. Dari Kota Tulungagung ke arah timur sampai perempatan Gragalan Sumbergempol (perempatan lampu merah timur gapura keluar kota Tulungagung) nanti ada papan penunjuk arah. Dari perempatan Gragalan belok ke selatan jurusan Kalidawir. Lurus saja ikuti jalan beraspal. Nanti akan sampai di pertigaan SPBU Podorejo belok ke arah barat sampai ada perempatan yang juga ada papan penunjuk arah belok saja ke arah kiri (selatan) menyusuri jalan setapak sampai ketemu jembatan. Setelah jembatan ada pertigaan belok saja ke arah kiri (timur) kurang lebih sekitar 100 meter, Goa Pasir ada di selatan jalan. Ada beberapa penduduk setempat yang membuka tempat parkir kok, jadi aman aja kalo kita mau melihat-lihat. Biaya parkir motor cukup merogoh kocek 2 ribu saja.
Setelah parkir motor saatnya lihat-lihat ada apa aja disana?
Cuuuuuuuuussss!!!!
Pos Penjaga Goa Pasir
 Goa Pasir terletak di lereng Pegunungan Podo yang nampak gersang dan berada dalam lingkungan hutan. Ada pos penjagaan yang bertuliskan “GOA PASIR”. Ama yang jaga pos kita disuruh ngisi buku tamu kemudian disuruh bayar Rp.1.000,00 per orang. Langsung aja deh berjalan ke arah selatan. Ada sebuah bangunan yang di dalamnya ada makam kuno. Aku tanya orang ternyata adalah makam Mbah Bodho atau lebih dikenal dengan “Situs Mbah Bodho”. Aku beranikan diri tuk melihat ke dalam melalui jendela yang ada. Di dalam ada seorang wanita yang kemudian sempoyongan keluar. Entah karena mabuk atau kesurupan aku juga gak tau.
Di depan Situs Mbah Bodho terdapat beberapa peninggalan. Ada arca, umpak, miniatur bangunan, dan batu-batu kuno lainnya.
Peninggalan di Sekitar Makam
 Dilihat dari tempatnya yang terpencil, diperkirakan situs ini dahulu digunakan sebagai tempat pertapaan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan penganut agama Hindu sekte Sikwa Shidanta yang menjalankan ritual di tempat yang sifatnya tertutup. Situs ini menyimpan berbagai benda purbakala antara lain patung, relief/pahatan yang ada di antara bebatuan, arca, batu candi, struktur batu bata kuno, makam kuno, umpak-umpak, dan goa. Goa Pasir disebut juga Situs Karsyan. Di antara rimbunnya pohon dan batu-batu besar yang berserakan terdapat relief-relief dan seperti di candi pada umumnya. Goa terletak di tebing batu bukit dan tak ada lorong-lorong seperti gua pada umumnya.
Setelah mampir ke Situs Mbah Bodho aku lanjutkan perjalanan ke atas menuju gua melalui lapangan menuju jalan jalan setapak.
Jalan Setapak Untuk Memulai Pendakian

Abis jalan setapak, gak pernah aku bayangkan kalau medannya cukup berat kayak gini. Bener-bener cukup susah dan banyak menguras energi untuk menuju gua karena jalan yang cukup terjal dan tidak ada pegangan. Ada banyak bongkahan batu besar dan lokasinya juga cukup tinggi. untuk mencapai lokasi, kita harus memanjat kira-kira sejauh 100 meter karena letak goa kira-kira berada di ketinggian 200 meter.
Ketika mendekati goa ada bongkahan batu yang cukup tinggi n kayaknya kagak mungkin banget untuk aku panjat dan mencapai gua. Aku putuskan untuk gak jadi naik karena aku sendiri juga gemetar n di bawah adalah bongkahan batu-batu yang cukup curam. Tapi disana ketemu ama anak-anak dari NCB yang kasih bantuan sehingga aku bisa naik. Tapi sayang, teman aq kagak berani naik n hanya nungguin di bawah.
Medan Pendakian
Relief di Sebelah Utara

Relief di Tengah Goa
Relief di Selatan
 Lega rasanya ketika sampai di goa. Goa ini kira-kira berukuran lebar 2,6 meter, tinggi 1,75 meter, dan kedalaman 2 meter. Ada beberapa relief yang terpahat di gua ini. Pada dinding sebelah kiri dan kanan goa terpahat relief yang menggambarkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang menggoda. Relief yang berada di tengah rada gak jelas. Kayaknya sih seperti seorang satria yang sedang bertapa. Mungkin saja relief-relief tersebut merupakan penggalan dari kisah Arjunawiwaha.
Setelah puas melihat-lihat relief-relief aku beristirahat sebentar. Ketika kuarahkan pandangan ke arah utara, view’nya bagus banget. Sawah-sawah yang menghijau terhampar luas. Gunung Wilis juga terlihat puncaknya.
Narsis with view hamparan sawah
 Ada sesuatu hal yang membuatku amazing terhadap Goa Pasir ini. Pada zaman dulu goa ini katanya digunakan untuk bertapa. Gimana yach cara naiknya? Aku yang pakai celana saja susah untuk naik, apalagi pada zaman dahulu yang masih memakai pakaian tradisional. Ketika aku ceritakan ke temanku malah dikasih komentar “pakai ajian seipi angin”. Ha33. Iya kali yach,,,,
Ketika baru turun dari goa tiba-tiba turun hujan deras n angin juga kenceng banget. Untung bawa tas ransel yang udah aku isi payung n jas hujan. Antara takut n khawatir, mana pohon yang ada bergoyang-goyang diterpa angin. Alhamdulillah gak ada apa-apa n bisa berhasil turun dengan selamat. Untuk yang mau kesana hati-hati yach!!
Di sekitar lapangan terdapat beberapa bongkah batu besar yang terpahat beberapa relief. Bagian atas berbentuk datar. Mungkin untuk bertapa atau hanya sekedar duduk-duduk saja.
Batu Berelief di Dekat Lapangan

Kalau gak salah inget, di sekitar lapangan tersebut pernah ditemukan arca-arca n peninggalan lainnya. Tapi entah sekarang kemana. Mungkin dipendam lagi atau atau sudah dibawa ke museum aku juga kurang tahu.
Kata adikku yang pernah kesana, masih ada 5 gua yang ada di sekitar gua tersebut. Bahkan kata dia ada suatu tempat yang dia namakan “kubangan kerbau” yang membuatnya pernah tersesat. Ada lumpur hidup? Woww. Apabila melempar sesuatu ke dalam lumpur tersebut, maka pelan-pelan benda tersebut akan tenggelam. Ah bikin penasaran aja nich ceritanya. Tapi mungkin next time aja yach kesananya kalau ada kesempatan lagi,,,
Untuk yang mau ke Goa Pasir mungkin bisa memperhatikan beberapa hal berikut ini yach.
1.     Banyak sekali yang datang ke Goa Pasir untuk sekedar melihat-lihat atau pacaran.
2.     Waktu pulang aku jumpai di Pos Jaga digunakan untuk mabuk-mabukan. Mungkin saja di tempat lain di sekitarnya.
3.     Bawa payung n jas hujan kali aja hujan turun yang kayak aku alami.
4.     Tetapkan dalam hati n pikiran untuk waspada n hati-hati!!!!
Sampai jumpa di kisah perjalananku berikutnya. Ciaooooooo,,,,
Cuuuuuuusssss,,,,,,,,,,,,,

Specially thank buat anak-anak NCB (Ndayake Cah Banjarejo) tux semua batuannya yach!!
With anak2 NCB

















Sumber:
1.     Obeservasi langsung tanggal 20 Januari 2013
2.     My Lovely Young Brother, Aris Agung Pratama
3.     Berbagai sumber yang mendukung