Sabtu, 08 November 2014

Situs Ringin Budho






Situs Ringin Budho terletak di Desa Mangunharjo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Situs tersebut berada di pusat kota Pare atau lebih tepatnya berada di kawasan Alun-Alun (Tamrin). Sesuai namanya, Situs Ringin Budho berada di bawah pohon beringin yang rindang dan dikelilingi pagar tembok sekitar setengah meter yang dicat berwarna merah. Ada 2 buah arca yaitu arca ganesha dan arca dwarapala. Untuk menghindari pencurian, kedua arca ini disemen.

Arca ganesha tersebut yang oleh masyarakat disebut Mbah Budho. Arca berkepala gajah dan perut buncit tersebut masih relatif utuh. Arca ganesha memiliki empat tangan. Tangan kanan depan membawa tasbih, tangan kanan belakang membawa gading, tangan kiri depan membawa mangkuk yang dihisap belalai, dan tangan kiri belakang membawa kapak yang sayang sekali dalam keadaan rusak.

Arca dwarapala dalam keadaan rusak. Arca dwarapala biasanya terdapat di depan sebuah bangunan yang biasanya berfungsi sebagai pelindung atau penolak bala. Kepala arca dwarapala dalam keadaan terpotong. Kaki kanan bersila sedangkan kaki kiri ditekuk. Tangan arca memegang gada. Arca tersebut memiliki rambut lurus dan ujungnya bergelombang.

Sepertinya Situs Ringin Budho sekarang berubah fungsi untuk menepi dan ngalap berkah. Situs ini berada di dekat Candi Surowono. Mungkinkah keduanya berkaitan? Sampai sejauh ini blm ada penelitian mengenai hal tersebut.

Jumat, 07 November 2014

Candi Gayatri





Candi Gayatri? Sebenarnya sudah lama sekali aku mendengarnya, dari masih duduk di bangku SD malahan. Namun baru-baru ini saja aku langsung bisa datang ke lokasi ini. Candi Gayatri atau Candi Boyolangu secara administratif terletak di Dusun Dadapan, Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, sekitar 5 kilometer dari pusat pemerintahan kabupaten ini. Candi ini terletak di tengah pemukiman penduduk.
Kalau ingin mengunjungi candi ini mudah saja. Dari kota Tulungagung kita bisa melewati perempatan Tamanan lurus ke arah selatan menuju arah Campurdarat. Setelah berjalan sekitar 5 kilometer sebelum perempatan Pasar Boyolangu, kita akan menemukan sebuah masjid besar. Dari masjid besar tersebut ke selatan kita akan menemukan sebuah gapura di sebelah barat jalan yang bertuliskan “GANG CANDI GAYATRI”.

Kemudian kita tinggal menyusuri gang kecil ke arah barat tersebut sampai menemukan sebuah gapura dan sebuah papan penunjuk arah yang bertuliskan “CANDI GAYATRI” di utara jalan. Candi Gayatri terletak di utara jalan tetapi harus masuk gang kecil di sebelah rumah penduduk.
 
Ketika menyusuri gang kecil tersebut kita akan disambut sebuah “name board” yang bertuliskan “CANDI BOYOLAGU”.

Di sisi sebelah kiri name board ada sebuah pos penjaga, tapi sayang ketika berkunjung ke sana pada hari Minggu tidak ada petugas atau juru kunci. Meskipun tidak ada penjaga tetapi pintu masuk terbuka lebar sehingga bisa masuk dengan leluasa.
 Candi Gayatri pertama kali diketemukan oleh masyarakat sekitar tahun 1914 dalam keadaan tertimbun tanah. Masyarakat setempat menggalinya dan di dalamnya terdapat bangunan candi beserta patung-patung kuno yang masih terkubur.
Candi Gayatri merupakan kompleks percandian yang berdenah segi empat dengan tangga masuk di sebelah barat. Di area situs ini terdapat 1 bangunan induk dan 2 candi perwara yaitu di sebelah selatan dan utaranya candi induk.

Candi induk berukuran 11,40 meter x 11,40 meter. Candi induk ini terdiri atas dua teras berundak yang hanya tinggal kaki bangunannya. Sisa ketinggian candi ini kurang lebih 2,30 meter (dengan mengambil sisi selatan).
Dalam candi induk ini terdapat arca Gayatri yaitu arca wanita perwujudan dari ratu Sri Rajapatni, anak Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari, istri keempat Raja Majapahit yang pertama, Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja (Tribhuwana Tunggadewi), dan sekaligus nenek dari Hayam Wuruk (Rajasanegara), raja yang membawa Kerajaan Majapahit mengalami masa keemasan/kejayaan. Arca ini berukuran panjang 1,1 meter, lebar 1 meter, dan tinggi 1,2 meter.  Tinggi lapik arca lebar 1,68 meter dan tebal 1,4 meter. Saat ini arca tersebut diletakkan di bawah naungan sebuah cungkup yang tanpa dinding. Tapi sayang, arca Gayatri ini sudah dalam keadaan tanpa kepala. Bentuk arca ini menggambarkan perwujudan Dhyani Budha Wairocana dengan duduk di atas padmasanan (singgasana) yang berhiaskan daun teratai. Tangan arca ini bersikap Dharmacakramudra (mengajar) serta bertatah halus dan rapi gaya Majapahit.
Di timur laut bangunan induk terdapat sumuran.

Candi perwara di sebelah selatan candi induk berbentuk bujursangkar dengan panjang lebar 5,80 meter. Candi perwara ini sudah dalam keadaan rusak dan hanya menyisakan bagian kaki saja. pada candi perwara ini terdapat Arca nandi, Arca Dwarapala, dan Arca Mahisasura Nandini. Sekarang sisa dari patung-patung yang ditemukan di areal Candi Gayatri telah disimpan dan diamankan di Museum Daerah Tulungagung.

 
Candi perwara di sebelah utara candi induk berbentuk bujursangkar dengan panjang lebar 5,80 meter. Candi perwara ini pun juga dalam kondisi yang sudah runtuh. Pada candi perwara ini terdapat 2 patung yoni yang masing-masing ceratnya disangga oleh kepala naga, fragmen arca Ganesha, dan sebuah Patung Jaladwara.
Secara arsitektur, semua bangunan pada kompleks percandian ini berbahan dasar batu bata, hanya beberapa komponen saja yang terbuat dari batu andesit, misalnya umpak dan arcanya. Candi Gayatri kemungkinan dibangun secara bertahap. Hal ini dapat dilihat adanya struktur hiasan candi yang tumpang tindih dengan struktur kaki candi. Jumlah umpak pada bangunan induk berjumlah tujuh buah, 2 umpak berangka tahun 1291 C (1369 M) dan 1322 C (1389 M). Adanya umpak-umpak ini mengindikasikan Candi Gayatri ini dahulu memakai atap, mengingat fungsi umpak pada umumnya digunakan sebagai penyangga tiang bangunan. Berdasarkan angka tahun tersebut diduga Candi Gayatri dibangun pada zaman Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359 - 1389 M) sebagai penghormatan dan makam Putri Gayatri. Pembangunan candi dilaksanakan pada tahun 1362, dua belas tahun sesudah meninggalnya Maharaja Patni (Gayatri) tepat pada upacara Sradha bagi putri tersebut. Upacara Sradha adalah upacara penyempurnaan arwah maharaja Patni dengan maksud menghilangkan segala sisa-sisa ikatan keduniaan, sehingga arwah itu dapat menjadi suci benar-benar untuk masuk nirwana. Sedangkan sifat, nama, dan tempat bangunan disebutkan dalam kitab Kesusastraan Negarakertagama karangan Mpu Prapanca (pada masa Majapahit pemerintahan Hayam Wuruk), bahwa di Boyolangu terdapat bangunan suci (candi) beragama Budha dengan nama Prajnaparamitapuri). Ada sumber yang mengatakan kalau Candi Gayatri mempunyai peran sebagai tempat keramat yang disekar para pembesar majapahit setiap bulan Badrapada.
Di lokasi lain yang berdekatan yaitu sekitar 1 km di timur candi ini terdapat Candi Sanggrahan yang menurut cerita merupakan tempat persinggahan rombongan pembawa jenazah Putri Gayatri sebelum didharmakan di Candi Gayatri ini.

Sumber:
1.    Tim Peneliti Sejarah Kabupaten Tulungagung. 1971. Sejarah & Babat Tulungagung. Tulungagung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tulungagung.
2.    Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
3.    Observasi tanggal 15 April 2012 dan 20 Maret 2013

Punden Plososrejo





Punden Plosorejo berada di Desa Plosorejo, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, sebelah timur Desa Rejowinangun. Gampang-gampang susah untuk mencapai tempat ini. Banyak-banyak bertanya kepada penduduk. Di Punden Plosorejo terdapat lapik prasasti yang mempunyai hiasan padmasana dan batu-batu bekas candi. Karena letak Punden Plosorejo berdekatan dengan Prasasti Rejowinangun, kemungkinan lapik prasasti di Punden Plosorejo tersebut merupakan lapik bagian Prasasti Rejowinangun yang berada di desa Rejowinangun. Pada waktu ke sana terdapat bekas sesaji. Sepertinya Punden Plosorejo dimanfaatkan untuk mencari berkah.